Lembaran Hati III
“Jadi seperti itu ya cara
mengerjakan soal ini?”. Eka dan Rara manggut-manggut.
“ya begitulah, mudah sekali kan?
yang penting kalian harus hapal rumusnya dulu, setelah itu banyakin deh latihan
soalnya, dengan banyak berlatih kita jadi terbiasa dengan rumus-rumus ini,
lagian setiap variasi soal juga menuntut kreativitas kita buat mengkombinasikan
rumusnya”
“OOOOOOOOO……………………………” sekali lagi
rara dan eka ber-o… panjang
mendengarkan khotbah koko tentang matapelajaran
matematika bab trigonometri. Mereka berdua baru saja mendapatkan pencerahan.
“jangan cuma ber-o… saja dong ayo
coba kita kerjain lagi soal selanjutnya, emm… sepertinya soal selanjutnya
tentang integral nih, gimana kalian mau coba?” koko menawarkan.
“aku coba ya? semoga bisa!” eka
mulai mengutak-atik soal itu.
“aku juga ah!” rara tidak mau
ketinggalan. Ia juga mulai mencorat-coret buku latihan soalnya.
Koko pun melakukan hal yang sama
ia tampak khusuk memecahkan soal itu. Mereka bertiga sedang berlomba. Siapa
yang paling cepat mengerjakan maka hadiahnya adalah pertanyaan dari teman
lainnya untuk menjelaskan. Ya sebuah pertanyaan karena dengan bertanya maka mereka menjadi
bisa membagi ilmu. Yang ditanya pun akan dengan semangat menjelaskan. Ada
kebanggaan yang menyeruak ketika berhasil memacahkan soal dan bisa berbagi
dengan sesama.
“aku dapat!” eka bersorak. Ia
tampak tersenyum girang.
“Jawabannya apa” rara yang sejak
tadi mencorat-corat agak kaget juga mendengar sorakan eka.
“ya apa jawabannya eka?” koko
menimpali.
“Jawabannya B kan” jawab eka.
“caranya gimana” rara dan koko
serentak bertanya.
Maka Eka dengan semangat yang menggebu-gebu mulai
meguraikan alur penyelesaian soal itu. Rara sesekali bertanya tentang satu dua
hal yang belum ia pahami. Sementara koko hanya manggut-manggut. Ada rahasia
yang koko pendam. Sebenarnya koko sudah
mengetahui jawabanya tapi ia urung untuk mengutarakan pada mereka berdua. Ia
ingin memberikan kesempatan pada yang lain untuk mencoba. Ia sengaja
berpura-pura.
“Udahan dulu yuk? Otakku udah
panas banget nih, nggak biasanya aku belajar selama ini. Dua jam belajar bareng
kalian emang nggak kerasa tapi sepertinya ini udah mulai terasa mentok otakku.” rara nyerocos minta
udahan.
“oke deh hari pertama ini cukup
sampai disini dulu aku juga sudah lelah.” eka menyetujui.
“ya udah.” Koko mengikuti.
Mereka pun mengakhiri belajar
bersama ketika matahari mulai menua. Senja telah turun menyapa. Mereka bertiga
pun naik angkot. Pulang. Kali ini mereka
tidak perlu menunggu terlalu lama karena saat ini bukan jam padat. Bukan jam
pulang sekolah. Anak-anak sekolah telah pulang sejak tiga jam yang lalu. Jadi mereka
bisa duduk dengan nyaman dan melakukan kebiasaan. Mengobrol.
“makasih ya teman-teman karena
kalian hari ini aku belajar banyak dan mengerti banyak hal juga.” Rara memulai.
“iya sama-sama, kita harus banyak
bilang terimakasih nih sama koko karena dia banyak ngajarin kita” eka
menyambung.
“ah nggak juga, aku juga belajar
banyak kok dari kalian” koko merendah.
“koko selalu deh merendah,
padahal tadi jago banget” eka protes.
“iya tuh, eh eka gimana kabar si
kiki pacar kamu itu? Bukannya dia kelas
tiga juga kayak kita ya? ambil program IPA kan? Gimana kalo kamu ajakin
sekalian biar rame dan tambah seru. Juga biar koko ada temen cowoknya, kasihan
tuh dia harus menghadapi betina-betina bodoh seperti kita, hehehe?” rara
nyerocos lagi.
Koko dan eka yang mendengar ide rara
tersentak. Eka merasa belum siap untuk menghadirkan kiki ditengah-tengah
mereka. Hubungannya dengan kiki baru kemarin sore. Ia baru saja jadian maka
ia masih malu-malu. Sementara koko
merasa ada rongga yang tiba-tiba saja menganga lebar dihatinya. Ia
terdiam. Luka yang belum sepenuhnya
sembuh itu tergores lagi. Sakit. Perih.
“ah apa sih rara? Si kiki itu
paling males kalo disuruh belajar”
“justru itu kamu sebagai pacarnya
harusnya menyemangatinya dong, biar dia semangat, kan udah kelas tiga dan
sebentar lagi mau ujian, apa iya kamu rela kalo kiki sampai tidak lulus ujian?”
rara berpanjang lebar.
”iya juga sih tapi………” eka ragu
untuk melanjutkan kata-katanya.
“tapi apa? Udah mending besuk
kamu ajakin dia buat belajar bareng, aku rasa koko juga nggak keberatan, ya
nggak koko?” rara bersemangat menjelaskan pada eka.
“koko gimana nggak apa-apa kan
kalo aku ajak kiki?” eka bertanya pada koko.
Koko yang sejak mendengar nama kiki
disebut-sebut ditengah pembicaraan mereka hanya bisa membisu. Hatinya beku.
Matanya menerawang jauh. Kosong. Ia dari tadi menyadarkan kepalanya di badan
angkot. Ia mengalihkan semua pendengarannya untuk hanya mendengar angin yang
melaju bersama dibawa angkot.
“koko………..?” eka yang merasa ada
sesuatu yang aneh dengan koko kembali mengajukan pertanyaan.
“ya…… bagimana?” koko tergagap.
Ia seperti orang yang tidur nyenyak lalu dibangunkan dengan tiba-tiba.
Celingukan.
“kita ngajak kiki ya?”
“Oh……… boleh” koko dengan kesadaran yang belum penuh
menjawab. Ia tampak tersenyum meski ketara sekali jika senyumnya itu terpaksa.
“nah… sudah jelaskan, sekarang
kamu besuk ajakin kiki ya?” rara kembali menimpali.
***
Kaku.
Suasananya sangat kaku. Sejak tadi eka dan koko hanya diam. Eka sibuk menatap
pacarnya kiki. Sementara koko hanya mengutak-atik soal. Koko sepenuhnya
mengalihkan perhatiannya pada soal-soal yang ada dihadapannya. Ia
mencoret-coret bukunya. Menulis nuliskan sesuatu. Rumus-rumus.
Angka-angka. Memang sejak kedatangan
kiki ditengah-tengah mereka koko menjadi kehilangan konsentrasi. Otaknya seolah
kosong. Pikirannya dikuasai sepenuhnya oleh hatinya yang tidak terkontrol. Ia
merasa ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya. Koko memang
tampak sangat terpaku seolah sedang luar biasa serius didepan soal-soal itu.
Tapi sesungguhnya ia sedang berkonsentrasi pada hatinya. Ia terus berbicara
pada hatinya agar tenang. Agar ia tetap ikhlas. Koko berdebat dalam diam.
Berdebat dengan hatinya.
“kalian
ini kenapa sih?” kok pada diam aja? Ayo dong belajar. Kita belum mengerjakan
satu soal pun!” rara mulai merasa curiga.
“hehe iya
nih kita belum ngerjain satu soal pun?” rara mulai tersadar.
“ini aku
sedang berusaha memecahkan soal?” koko berbohong.
“aku
menggangu belajar kalian ya?” kiki menimpali.
“nggak
kok?” eka buru-buru menjawab.
“hhh… tau
begini mending nggak usah ngajak kiki. Eka malah jadi nggak kosentrasi!” rara
berbisik sendiri.
“rara
kamu ngomong apa?” eka merasa rara sedang membicarakan dirinya.
“nggak
kok?” rara agak kaget.
Maka sore
itu sesi belajar bareng mereka hanya diisi dengan kekosongan. Eka asik bercanda
dengan kiki sementara koko hanya terdiam melawan hatinya yang bergejolak oleh
rasa cemburu. Dan rara sibuk mengeluh sendiri karena mereka semua tidak
berkonsentrasi seperti biasanya. Dia agak merasa menyesal telah mengusulkan
kiki untuk diajak belajar bareng jika akhirnya malah jadi seperti ini.
“koko?”
rara memberanikan diri memanggil.
Koko
tampak mengacuhkannya. Ia melihat koko melamun. Kemudian dengan takut-takut ia
menyentuh pundak lelaki itu.
“koko?”
lirih ia memanggil lagi.
Koko
akhirnya menoleh. Ia tersenyum pada rara.
“koko
kamu kenapa? Tadi aku lihat kamu tidak konsentrasi? Kamu sakit?”
“nggak
kok. Mungkin cuma agak lelah” koko berbohong lagi. Ia mencoba untuk tersenyum
lagi pada rara.
“ya udah
kamu istirahat dulu aja. Bentar lagi kamu mau nyampe rumah kan?”
“ya
terima kasih”
Koko pun
kosong lagi. Melamun. Hatinya kacau. Ia tak bisa melihat eka diboncengkan kiki
untuk diantar pulang. Sepertinya ia cemburu.
“koko
udah mau nyampe nih sana siap-siap dulu” rara membangunkannya dari lamunannya.
“oh ya”
Setelah
koko turun dari angkot rara berbicara pada diri sendiri. Dia nyerocos sesuai dengan kebiasaannya tapi
kali ini dengan dirinya sendiri.
“kenapa
ya? kenapa tadi koko jadi aneh. Apa iya benar-benar sakit? Tapi sepertinya tadi
pagi ia masih ceria. Kenapa setelah kedatangan kiki ia jadi murung. Apa
jangan-jangan selama ini koko memendam perasaan sama eka. Tapi sepertinya tidak
mungkin. Selama ini mereka kan cuma berteman. Dan koko juga tidak
memperlihatkan sikap menolak pada kiki. Hemm… koko sakit apa ya? semoga dia
baik-baik saja deh. Semoga emang bener cuma kecapekan.”
Rara lalu
tersenyum sendiri. Tadi hatinya bergetar hebat ketika sebuah senyum manis
melengkung diwajah koko. Tapi lagi-lagi ia menolak untuk mengakui getaran itu.
Rara melamun lagi. Ia masih agak kacau karena harus satu angkot dengan koko
tanpa eka. Eka tadi memang diantar kiki naik motor pribadinya. Ia sebenarnya
agak keberatan eka meninggalkan dirinya dengan koko berdua saja. Tapi ia
mencoba untuk tenang. Lagian selama ini koko juga tidak menunjukakan
tanda-tanda bahwa dia ada perasaan dengan dirinya. Jadi dia tidak mau bertindak
konyol. Apalagi terlalu percaya diri.
***
“kalian
kemarin kenapa sih? Kenapa nggak pada konsentrasi?” rara membuka pembicaraan.
“maklum
lah aku kan baru jadian sama kiki jadi aku masih malu-malu sama dia, masih
nggak karuan hatiku kalo dideket dia. Kayak kamu nggak tahu aja rara?” eka
menjelaskan.
“maaf ya
teman sepertinya kemarin aku agak kelelahan jadi nggak konsen deh belajarnya. Hehehe.” Koko mencari-cari alasan.
“ya udah
sekarang akan si kiki udah kita berhentikan dari anggota kelompok belajar ini.
Jadi sekarang sebaiknya kalian berkonsentrasi lagi. Dan mulai mengajari aku
lagi. Hehehe. Soal ini bagaimana cara mengerjakannya?” rara tersenyum.
Seperti
biasa mereka pun asik belajar lagi. Semuanya telah kembali focus. Koko sudah
lebih baik. Ya meskipun ia masih agak terluka karena kejadian kemarin tapi ia
sudah dapat mengontrol hatinya. Eka pun demikian ia dapat lebih berkonsentrasi
tanpa kiki. Ia memang baru menjalin hubungan jadi segala sesuatu masih rentan.
Masih canggung. Sementara rara tampak begitu bersemangat. Sejak tadi ia begitu
aktif bertanya. Menjadikan suasana menjadi cair dan meriah. Rara kemarin memang
sempat menghubungi eka agar ia tidak lagi mengajak kiki. Eka agak kaget dan
sempat marah dengan rara. Tapi setelah melalui perdebatan tentang baik dan
buruknya akhrinya eka mengalah. Ia menjelaskan bahwa kiki juga tidak merasa
keberatan untuk tidak diundang dalam belajar bareang mereka.
Mereka
keasikan belajar sampai lupa bahwa matahari telah pulang keperaduanya. Senja
turun menyelimuti dunia mereka. Langit
berwarna biru pekat. Gumpalan-gumpalan awan berjejal-jejal diatas sana.
Menghalangi satu dua bintang yang mulai mengintip dari kejauhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar