Pages

Sabtu, 29 Oktober 2011

CINTA DIKAKI LANGIT





Hawa dingin menjadi raja suasana disiang ini. Menjajah sampul bumi. Sementara cahaya matahari hanya menjadi rakyat jelata yang tak mampu menembus tebalnya awan dikerajaan langit. Yang nampak hanya cahaya kelabu nan sendu. Pertanda bahwa kuasa matahari telah terbelenggu. Tak lagi terang. Temaram dihadang awan. Bingung dilanda mendung.

Perlahan-lahan aku mulai meraba hatiku. Mencari sesuatu yang membuatnya terasa tak menentu. Pelan-pelan kutelusuri setiap relung-relung dalam dada. Adakah mendung disana? Adakah gumpalan awan hitam yang menyelimutinya? Menghalangi pandanganku untuk melihat semua ini. Untuk mengartikan getaran asing dihati ini. Getaran aneh yang kini tengah mengusik damai dan tenangnya hatiku.

Kucoba menatap lebih dalam. Menatap tajam setiap jengkal sudut-sudut langit dihatiku. Kosong! Tak ada awan mendung disana. Tak kutemukan segumpal awan pun. Aneh! Yang kulihat justru gerimis tipis yang entah datang dari mana. Butiran-butiran air super kecil itu dengan lembut jatuh diatas kepalaku. Membelai mesra setiap ujung helai rambutku. Kabut air yang halus itu mememuhi langit hatiku.



Demi keanehan yang terpampang dalam pandanganku. Neuron-neuron diotakku akhirnya bereaksi. Bersenyawa bersama-sama merajut sebuah jawaban. Namun sebelum jawaban itu rampung tersaji. Mendadak neuron lain memerintahkan mataku untuk membeliak. Terbelalak! Kulihat sesuatu yang maha indah disalah satu sudut dilangit hatiku. Melayang-layang. Memanjang. Menyebrang dari ujung hati ke ujung hatiku yang lain. Apakah itu? Aku mencoba mendekat. Namun keanehan terjadi, semakin aku mendekat pemandangan itu justru menjauh. Aku mencoba mempercepat langkah kakiku hingga akhirnya berlari mengejarnya. Tetapi lagi-lagi terjadi anomali. Pemandangan itu masih sama jaraknya dengan pertama kali tadi aku melihatnya. Tak pernah sedikit pun terasa makin dekat walau hanya satu senti.



Akhirnya kuputuskan untuk menghentikan langkahku. Kuatur nafasku yang terasa diujung penghabisan. Lambat namun pasti kucoba untuk memfokuskan pandanganku. Kulihat dengan cermat.

“Melengkung!”

“Berwarna-warni!”

“Apakah itu?” tanyaku. “Pelangikah?”

Hemm...,pelangi. “Ya, itu pasti pelangi!” Aku yakin itu pasti pelangi pikirku. Kemudian tiba-tiba kurasakan otakku seperti dihujani tanda tanya. Apakah mungkin pelangi itu yang membuat keanehan dihatiku? Pelangi yang nampak begitu indah tapi justru mengusikku. Menggantikan semua getaran yang pernah menyapa langit hatiku.

“Lalu sejak kapan pelangi itu muncul dihatiku?”

“Sejak itukah...?” tanyaku.

“Sejak aku menghabiskan suatu sore yang dihiasi gerimis tipis dengan seseorang itu?” Gerimis tipis yang akhirnya melukis lengkung warna dilangit. Entahlah...

***

Senja ini aku kembali bersamanya. Bersama seseorang yang telah melukis warna dilangit hatiku. Seorang yang telah menggetarkan dinding hatiku.

“Apa kau tau mengapa langit saat ini cerah?” Lirih aku bertanya mengawali pembicaraan. Kulihat dia hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Kau tahu? Kenapa langit hari ini cerah? Ya, karena tadi siang telah hujan lebat. Lihatlah awan tak lagi bermain-main dilangit. Tadi siang mereka telah menjelma menjadi butiran-butiran air. Menyiram bumi untuk memberinya kehidupan. Ya, kehidupan seperti kita. Sepertinya awan tahu bahwa bumi sedang kehausan. Maka awan rela untuk menghentikan kesenangannya bermain-main diatap bumi. Memberinya pelepas dahaga. Sekarang lihatlah matahari itu! Indah ya? Memberikan cahaya yang terang sehingga aku dapat melihat lukisan Tuhan diwajahmu? Terimakasih sudah menjadi matahariku?”



“Hhh.... Kudengar dia menghela nafas. Ya, kau benar. Awan-awan rela untuk melepas kesenangannya demi kehidupan di bumi. Bumi telah menyediakan ruang bagi awan untuk bersenang-senang. Langit merupakan tempat mereka bermain. Dan apakah kau tahu? Awan pun menyadari, ia tunduk pada ikatan cinta antara dirinya dan bumi. Menjadi hujan adalah salah satu bentuk bukti cinta awan pada bumi. Karena dengan menjadi hujan, dengan menjadi butiran-butiran air maka awan akan dapat bersatu dengan bumi. Tidak ada lagi jarak yang memisahkan antara mereka. Awan menjelma menjadi air yang meresap kedalam bumi. Bersama-sama memberikan cinta pada kehidupan di bumi ini.”

Hhh...” Kudengar ia kembali menghela napas lalu kembali berbicara. “Ya, matahari senja memang selalu indah, cahayanya hangat dan tidak menyilaukan. Tapi kau salah dalam satu hal. Aku tak pantas kau sebut sebagai matahari. Ya, kurasa itu terlalu berlebihan untukku.” Ia mengalihkan pandangannya padaku. Dapat kubaca bahwa ada rasa rendah diri dalam sorot pandangnya.

“Hem...,ya mungkin kau benar. Kau bukanlah matahari. Tapi aku tidak peduli apakah kau matahari atau bukan. Yang jelas kau adalah cahaya bagiku. Meskipun itu hanyalah cahaya kecil. Sekali lagi aku tak pernah peduli. Kau tahu? kehidupanku yang sudah terlalu gelap ini, kehidupan yang sudah terlalu pekat. Maka titik cahaya kecil seperti dirimu akan dapat kulihat. Ya, meskipun hanya titik cahaya kecil. Titik cahaya yang amat berarti bagiku. Karena memberikan terang serta kehangatan dalam hidupku. Menemani kesendirianku.”

“Begitukah?” dia bertanya dengan ragu.

“Ya, begitulah.” Kujawab sambil menyimpulkan bibirku. Tersenyum.

“Entah mengapa ketika aku bersamamu segalanya terasa begitu indah. Waktu seolah terlalu cepat menapaki takdirnya. Kau tahu? Ketika bersamamu aku tidak perlu menjadi orang lain. Menjadi pemain palsu di dunia yang dipenuhi sandiwara ini. Apakah kau mengerti bahwa saat bersamamu ada sesuatu yang kurasakan? Sesuatu yang membuat hatiku senang. Membuatku damai. Membuatku tentram. Apakah itu...?” Tak kuselesaikan kalimatku.

“Cinta...” Dia meneruskan dengan nada tak yakin.

“Entahlah..., aku tidak mengerti apa itu cinta. Terlalu sering orang berbicara tentang cinta. Seoalah hal itu adalah hal yang biasa saja. Tapi kau harus tahu, yang kurasakan ini bukanlah hal yang biasa saja. Ini berbeda dengan berbagai rasa yang pernah aku rasakan dihatiku. Sejujurnya  ku tak mengerti akan arti cinta.


Kulirik dia yang tampak terdiam lalu kemudian mengerakkan mulutnya. Berbicara. “Sesungguhnya aku merasakan hal yang sama. Aku merasa bahwa saat bersamamu tidak ada lagi kegelisahan dan ketakutan-ketakutan yang kerap melanda hidupku. Aku merasa kuat. Ada nyala harapan untuk hari esok. Namun aku sering bertanya, apakah aku pantas?”

“Mengapa kau selalu merendahkan dirimu dengan selalu bertanya “apakah aku pantas?” Kau harus tahu bahwa aku tak pernah peduli apakah kau pantas bersamaku atau tidak. Yang kupedulikan adalah rasa yang kini tengah melanda hatiku. Sebuah rasa yang tercipta karena dirimu. Yang terpenting bagiku adalah dirimu, bukan siapa dirimu.

“Tapi...” dia memotong dengan ragu ragu.

“Tidak ada tetapi, sekarang izinkan aku untuk mengatakan sesuatu, sesuatu yang sering diumbar oleh orang-orang. Tapi aku tidak mau mengatakannya sama seperti mereka. Kau harus mengerti bahwa yang terucap dibibirku adalah terjemahan dari apa yang kini sedang kurasakan. Meskipun kata yang keluar dari mulutku takkan pernah sempurna mewakilkan rasa yang ada dihatiku. Tapi setidaknya ini bisa membuatmu mengerti.” Kuhentikan kalimatku sejenak lalu denag sepenuh hati kuucapkan… “Maukah kau terus menjaga rasa yang kini tengah kurasakan? Maukah kau terus mengisi hatiku? Menemaniku? Maukah kau terus menjadi cahaya bagiku? Dan maukah kau terus mencipta lukisan indah warna dilangit hatiku? Maukah kau?”

Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Dia tampak ragu. Namun kemudian ada kembang yang merekah dibibirnya. Sebuah kembang senyum yang teramat indah. Dan aku mengerti apa arti senyuman itu. Kurasakan kini aku dapat mendekati pelangi dihatiku. Pelangi yang terlalu indah tak terkatakan.
 ***
Pernah dimuat dalam dalam buku kumpulan cerpen dengan tema: valentine writing competion, buku 15, nulis buku.com 

2 komentar: