Pages

Rabu, 21 Maret 2012

Pendapat Para Ahli Hukum Islam tentang Asuransi






Abizzz...... presentasi makalah ini.... huft.... lega... tugas udah selesai... .... ... ... ... 
BAB II
PEMBAHASAN
Diantara para ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi kerugian. Perbedaan ini dapat dimaklumi karena persoalan asuransi merupakan ladang ijtihadiyah
. Asuransi yang kita kenal selama ini belum dibahas dalam fiqh klasik karena bentuk transaksinya baru muncul sekitar abad ke 13 dan abad ke-14 di Italia dalam bentuk transaksi perjalanan laut. Karena tumbuh dan berkembang didunia barat maka ia memiliki watak, bentuk, sifat dan tujuan yang berbeda dengan wujud dan tujuan yang dikenal dalam fiqh didunia islam. Watak yang dikandungnya itu antara lain menggunakan riba sebagai system ekonomi kapitalis yang dilarang keras oleh ajaran islam[2]. Jika diringkas setidaknya ada tiga pendapat ulama tentang asuransi.
A.    Pendapat Tentang Pelarangan Asuransi
Pendapat yang pertama yaitu segala asuransi dalam segala aspeknya adalah haram, termasuk asuransi jiwa. Pendapat ini didukung oleh kalangan ulama seperti Sayid Sabiq, Abdullah Al- Qalqili, Muhammad Yusuf Qordawi, dan Muhammad Bakhit Al-Muth’i.  Alasannya diantara lain adalah:
1.      Pada dasarnya asuransi itu sama atau serupa dengan judi.
2.      Asuransi mengandung ketidakpastian.
3.      Asuransi mengadung riba.
4.      Asuransi bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus hangus/ hilang atau dikurangi secara tidak adil (peserta dizalimi)
5.      Premi yang diterima oleh perusahaan diputar atau ditanam pada investasi yang mengandung bunga /riba.
6.      Asuransi menjadikan hidup/mati seseorang sebagai obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Allah.
Pendapat pertama ini mengarah pada praktik asuransi konvensional yang mengandung gharar (ketidakpastian), maisir (untung-untungan), riba dan menempatkan posisi peserta sebagi pihak yang terzalimi.[3] Gharar karena Dalam asuransi konvensional adanya gharar atau ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan akad yang melandasinya. Apakah Aqad Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqad Takafuli (tolong menolong). Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil 10 tahun untuk Rp. 1.000.000 per tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli, dan meninggal pada tahun ke 4, maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp. 10.000.000. Ini berarti Rp. 6.000.000 gharar. Tidak jelas dari mana asalnya. Sementra itu dalam Asuransi konvensional maisir timbul dalam dua hal  yaitu seandainya dia memasuki satu program premi, biasanya orang itu ada kemungkinan berhenti karena alasan tertentu. Apabila ia berhenti dijalan dan belum mencapai masa refersing periode, dimana dia bisa menerima uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah + 20%, uang itu akan hangus. jadi disini ada unsur maisir. Juga manakala Underwriter atau yang menghitung remortalita kematian tepat, menentukan jumlah polis tepat, maka perusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam menghitungnya maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini mengandung unsur maisir atau judi.[4]
B.     Pendapat Tentang Pembolehan Asuransi
Kedua, pendapat yang membolehkan asuransi, termasuk asuransi jiwa dalam prakteknya sekarang. Pendapat ini didukung oleh ulama, seperti Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan Abdurahman Isa. Alasan Mereka memperbolehkannya adalah:
1.      Tidak ada teks dalam Al-Quran dan Hadis yang melarang asuransi.
2.      Ada kesepakatan atau kerelaan kedua belah pihak.
3.      Mengandung kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-proyek yang prouktif dan untuk pembangunan.
4.      Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis dan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing.
5.      Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awwuniyah)
6.      Di-qiyas-kan (analogi) dengan system pensiun.
Pendapat kedua ini lebih menitik beratkan pada jenis asuransi social dan koperasi yang dikelola oleh pemerintah dan bukan bertujuan komersial, melainkan lebih kepada kemaslahatan umat, seperti Taspen dan Jasa Raharja.
Selain pandangan diatas kaum modernis mengajukan keberatan atas beberapa alasan tentang pelarangan asuransi yaitu:
1.      Asuransi bukan perjudian, juga bukan pertaruhan karena didasarkan pada mutualitas (kebersamaan) dan kerja sama. Perjudian adalah sebuah permainan keberuntunga dan karenanya merusak masyarakat. Asuransi adalah sebuah anugrah bagi umat manusia, karena ia melindungi mereka dari bahaya yang mengancam jiwa dan harta mereka dan memberikan keuntungan bagi perdagangan dan industry.
2.      Ketidakpastian dalam transaksi dilarang dalam islam karena menyebabkan perselisihan. Jelas dari ucapan-ucapan nabi Muhammad bahwa kontrak penjualan dilarang bila penjual tidak sanggup menyerahkan barang yang dijanjikan kepada pembeli karena sifatnya yang tidak tentu. Seekor burung diudara dan seekor ikan di air, misalnya tidak dapat diserahkan jika tidak ditangkap dan tertangkapnya pun tidak pasti. Karena suatu ketidakpastian tidak dapat dihindari dalam transaksi didunia modern, maka dapat disimpulkan bahwa ucapan Nabi SAW itu menyinggung kasus-kasus dimana ketidakpastian muncul dalam bentuk ekstrimya, seperti dalam perjudian. Menurut keterangan ini, asuransi jauh dari ketidakpastian, khususnya ketika disertai kompensasi(ganti rugi) yang pasti. Sebenarnya kompensasi nyata dalam asuransi adalah keamanan yang dirasakan oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilannya.
3.      Asuransi  jiwa bukan alat untuk menolak kekuasaan Tuhan atau menggantikan kehendak-Nya karena asuransi ini tidak menjamin peristiwa yang tidak terjadi tetapi sebaliknya mengganti kerugian kepada peserta asuransi terhadap akibat-akibat dari suatu peristiwa atau resiko yang sudah ditentukan. Gerakan kooperatiflah yang mengurangi kerugian akibat suatu peristiwa tertentu dan itu didukung oleh ayat Al-Quran: dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Sudah pasti kematian adalah malapetaka dan oleh karena itu bisa diambil langkah-langkah untuk memperkecil keseriusan akibatnya dengan cara saling tolong-menolong dan membantu.
4.      Keberatan mengenai tidak tentunya asuransi jiwa dalam ari bahwa peserta asuransi tidak mengetahui berapa banyak jumlah cicilan yang dibayarkannya sampai kematiaannya adalah tidak beralasan. Karena jumlah cicilan yang tidak tentu tidak mempengaruhi keabsahan kontrak, juga tidak merugikan pihak manapun, karena jumlah dari tiap cicilan menjadi diketahui ketika dibayar dan begitu pula jumlah total dari semua cicilan pada saat semuanya sudah dibayar.
5.      Keberatan mengenai riba, dalam asuransi jiwa, tak berguna, karena asuransi ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah dibayarnya. Tidak mungkin diajukan keberatan terhadap transaksi-transaksi lain yang dilakukan perusahaan-perusahaan asuransi dan investasi berbunga mereka, karena seseorang harus mengambil asuransi sebagaimana adanya sesuai dengan bentuk resminya.[5]
Sementara itu ada juga beberapa ulama terkemuka yang membolehkan asuransi dengan berbagai alasan seperti berikut ini.
1. Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo).
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan yang mengelola asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya sebesar premi yang pernah dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi, sesuai yang tercantum dalam polis, dan ini halal menurut ukuran syara’.
2.      Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Mesir.
Dalam kitabnya Nidlomut Ta’min fi Hadighi Akkamil Islam wa Dlarurotil Mujtamil Mu’ashir, ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa sebab.
1. Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong-menolong.
2. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda.
3. Asuransi tidak mengandung unsur riba.
4. Asuransi tidak mengandung tipu daya.
5. Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah swt.
6. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah.
7. Asuransi memperluas lapangan kerja baru.[6]
C.    Pendapat Tentang Asuransi Adalah Syubhat
Ketiga, pendapat bahwa  asuransi bersifat suybhat. Para ulama yang berpendapat seperti ini karea tidak ada dalil-dalil syar’I yang secara jelas menghalalkan atau mengharamkannya. Jika hokum asuransi dimasukkan dalam syubhat, kita harus berhati-hati menghadapinya. Kita baru diperbolehkan menggunkan asuransi dalamkeadaan darurat dan sangat dibutuhkan. Untuk saat ini, setelah muncul asuransi syariah, tidak ada lagi istilah syubhat.[7]
D.    Pendapat Ormas Islam Tentang Asuransi
Dikalangan organisasi kemasyarakatan islam di Indonesia, Nahdhatul Ulama memutuskan bahwa asuransi jiwa hukumnya haram kecuali memenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Asuransi tersebut harus mengandung tabungan (saving).
2.      Peserta yang ikut program asuransi harus berniat menabung.
3.      Pihak perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat Islam ( bebas dari gharar, maisir dan riba)
4.      Apabila peserta mengundurkan diri sebelum jatuh tempo dana yang telah dibayarkan kepada pihak asuransi tidak hangus.
Jika suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi maka:
1.      Uang premi tersebut menjadi utang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung.
2.      Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung tidak terputus
3.      Uang tabungan milik tertanggung tidak hangus.
4.      Apabila sebelum jatuh tempo tertanggung meninggal dunia, ahli warisnya berhak mengambil sejumlah uang simpananya.
Untuk asuransi kerugian hal itu diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi objek-objek yang menjadi agunan bank.
2.      Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena terkait dengan ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang ekspor dan impor.
Lain halnya dengan asuransi social NU memperbolehkannya dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Asuransi social tidak termasuk akad muawadhah, tetapi akad syirkah ta’awwunyah.
2.      Diselenggarakan oleh pemerintah sehingga kalau ada kerugian ditanggung oleh pemerintah dan jika ada keuntungan, dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
Tidak jauh berbeda dengan NU pada Muktamar Tarjir Muhammadiyah di Malang tahun 1989, Muhammadiyah memutuskan mengharamkan asuransi karena mengandung unsure gharar, maisir dan riba, kecuali yang diselenggarakan oleh pemerintah  seperti Taspen, Astek, Jasa  Raharja, dan Perum Asabri. Karena banyak mengandung maslahat maka asuransi-asuransi ni diperbolehkan. Ormas lain yang mengeluarkan fatwa tentang asuransi adalah Persis atau Persatuan Islam yang didirikan oleh A. Hasan, Bandung yaitu sebagai berikut:
1.      Semua asuransi konvensional yang ada saat ini mengandung unsure gharar, maisir dan riba.
2.      Sedangkan gharar, maisir dan riba hukumnya haram.
3.      Adapun takaful dapat dijadikan alternative dengan catatn bahwa takaful masih harus berusaha menyempurnakan apa yang telah ada.
Pendapat ketiga organisasi masa islam tersebut mengarah pada praktik asuransi syariah (takaful) karena hanya system asuransi syariah yang memiliki system operasional seperi yang disyaratkan oleh keputusan organisasi kemasyarakatan islam diatas.[8]




BAB III
KESIMPULAN
Pada dasarnya pendapat para ulama tentang masalah asuransi terbagi menjadi tiga pendapat. Pendapat yang pertama yaitu yang melarang atau mengharamkan asuransi, pendapat yang kedua yaitu membolehkan asuransi serta yang terakhir yaitu memandang bahwa asuransi adalah syubhat.
 Alasan asuransi dilarang dalam islam karena sebagian besar mengandung unsur gharar (ketidakpastian), riba dan maisir (judi). Sementara pendapat yang membolehkan asuransi memandang bahwa asuransi merupakan usaha untuk menghadapi resiko dikemudian hari atas kejadian-kejadian yang tidak terduga. Dan hal ini sangat dianjurkan dalam agama islam. Lain halnya dengan yang berpendapat bahwa asuransi adalah perkara syubhat. Karena masalah asuransi ini tidak terdapat dalam ayat Al-Qur’an maupun Hadist maka dianggap syubhat atau samar-samar kehalalan dan keharamannya.
Akhirnya asuransi itu sebenarnya diperbolehkan dalam islam namun dengan catatan bahwa asuransi tersebut harus mengacu pada nilai-nilai serta ketentuan-ketentuan dalam islam. Maka asuransi syariah merupakan solusi ditengah kebimbangan akan kehalalan dan keharaman asuransi konvensional.  


DAFTAR PUSTAKA
Ansori, Abdul Ghofur. 2007. Asuransi Syariah di Indonesia. UII: Yogyakarta.
Anwar, Khoiril. 2007. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat.  Tiga Serangkai: Solo
Muslehuddin, Muhammad. 1999. Menggugat Asuransi Modern. Lentera: Jakarta
http://shariahlife.wordpress.com
                                                                                                        


[1] Abdul Ghofur Ansori. Asuransi Syariah di Indonesia. Hlm 9.
[2] Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat. Hlm 5
[3] Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat. Hlm 25
[4] http://shariahlife.wordpress.com
[5] Dr. Muhammad Muslehudin. Menggugat Asuransi Modern. Hlm 146-149
[6] http://databaseartikel.com
[7] Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahah. Hlm 26
[8] Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahah. Hlm 27-28

2 komentar:

  1. Hem...rasanya enak dijelasin sambil ngobrol kyk kmrn. hehehe...
    Tapi heran juga, mengapa orang lebih suka bertaruh? Masih kurang adilkah untuk mereka tabungan/simpanan yang jelas itu darinya?

    BalasHapus
  2. terimakasih dah share bang. sangat bermanfaat untuk menambah referensi. salam

    BalasHapus