BAB II
PEMBAHASAN
Diantara
para ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai asuransi, baik asuransi jiwa
maupun asuransi kerugian. Perbedaan ini dapat dimaklumi karena persoalan
asuransi merupakan ladang ijtihadiyah
.
Asuransi yang kita kenal selama ini belum dibahas dalam fiqh klasik karena
bentuk transaksinya baru muncul sekitar abad ke 13 dan abad ke-14 di Italia
dalam bentuk transaksi perjalanan laut. Karena tumbuh dan berkembang didunia
barat maka ia memiliki watak, bentuk, sifat dan tujuan yang berbeda dengan
wujud dan tujuan yang dikenal dalam fiqh didunia islam. Watak yang dikandungnya
itu antara lain menggunakan riba sebagai system ekonomi kapitalis yang dilarang
keras oleh ajaran islam[2].
Jika diringkas setidaknya ada tiga pendapat ulama tentang asuransi.
A.
Pendapat
Tentang Pelarangan Asuransi
Pendapat
yang pertama yaitu segala asuransi dalam segala aspeknya adalah haram, termasuk
asuransi jiwa. Pendapat ini didukung oleh kalangan ulama seperti Sayid Sabiq,
Abdullah Al- Qalqili, Muhammad Yusuf Qordawi, dan Muhammad Bakhit
Al-Muth’i. Alasannya diantara lain
adalah:
1. Pada
dasarnya asuransi itu sama atau serupa dengan judi.
2. Asuransi
mengandung ketidakpastian.
3. Asuransi
mengadung riba.
4. Asuransi
bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan pembayaran
premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus hangus/ hilang atau dikurangi
secara tidak adil (peserta dizalimi)
5. Premi
yang diterima oleh perusahaan diputar atau ditanam pada investasi yang
mengandung bunga /riba.
6. Asuransi
menjadikan hidup/mati seseorang sebagai obyek bisnis, yang berarti mendahului
takdir Allah.
Pendapat
pertama ini mengarah pada praktik asuransi konvensional yang mengandung gharar (ketidakpastian), maisir (untung-untungan), riba dan
menempatkan posisi peserta sebagi pihak yang terzalimi.[3] Gharar karena Dalam asuransi konvensional adanya gharar atau ketidakpastian
disebabkan karena ketidakjelasan akad yang melandasinya. Apakah Aqad Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqad Takafuli (tolong menolong).
Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil 10 tahun untuk Rp. 1.000.000 per
tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli, dan meninggal pada tahun ke 4,
maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp. 10.000.000. Ini berarti Rp.
6.000.000 gharar. Tidak jelas dari
mana asalnya. Sementra itu dalam
Asuransi konvensional maisir timbul
dalam dua hal yaitu seandainya dia
memasuki satu program premi, biasanya orang itu ada kemungkinan berhenti karena
alasan tertentu. Apabila ia berhenti dijalan dan belum mencapai masa refersing periode, dimana dia bisa menerima
uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah + 20%, uang itu akan
hangus. jadi disini ada unsur maisir. Juga manakala Underwriter atau yang menghitung remortalita kematian tepat,
menentukan jumlah polis tepat, maka perusahaan akan untung. Tetapi jika salah
dalam menghitungnya maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini mengandung
unsur maisir atau judi.[4]
B.
Pendapat
Tentang Pembolehan Asuransi
Kedua,
pendapat yang membolehkan asuransi, termasuk asuransi jiwa dalam prakteknya
sekarang. Pendapat ini didukung oleh ulama, seperti Abdul Wahab Khallaf,
Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan Abdurahman Isa. Alasan Mereka
memperbolehkannya adalah:
1. Tidak
ada teks dalam Al-Quran dan Hadis yang melarang asuransi.
2. Ada
kesepakatan atau kerelaan kedua belah pihak.
3. Mengandung
kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk
proyek-proyek yang prouktif dan untuk pembangunan.
4. Asuransi
termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang
polis dan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing.
5. Asuransi
termasuk koperasi (syirkah ta’awwuniyah)
6. Di-qiyas-kan
(analogi) dengan system pensiun.
Pendapat
kedua ini lebih menitik beratkan pada jenis asuransi social dan koperasi yang dikelola
oleh pemerintah dan bukan bertujuan komersial, melainkan lebih kepada
kemaslahatan umat, seperti Taspen dan Jasa Raharja.
Selain
pandangan diatas kaum modernis
mengajukan keberatan atas beberapa alasan tentang pelarangan asuransi yaitu:
1. Asuransi
bukan perjudian, juga bukan pertaruhan karena didasarkan pada mutualitas
(kebersamaan) dan kerja sama. Perjudian adalah sebuah permainan keberuntunga
dan karenanya merusak masyarakat. Asuransi adalah sebuah anugrah bagi umat
manusia, karena ia melindungi mereka dari bahaya yang mengancam jiwa dan harta
mereka dan memberikan keuntungan bagi perdagangan dan industry.
2. Ketidakpastian
dalam transaksi dilarang dalam islam karena menyebabkan perselisihan. Jelas
dari ucapan-ucapan nabi Muhammad bahwa kontrak penjualan dilarang bila penjual
tidak sanggup menyerahkan barang yang dijanjikan kepada pembeli karena sifatnya
yang tidak tentu. Seekor burung diudara dan seekor ikan di air, misalnya tidak
dapat diserahkan jika tidak ditangkap dan tertangkapnya pun tidak pasti. Karena
suatu ketidakpastian tidak dapat dihindari dalam transaksi didunia modern, maka
dapat disimpulkan bahwa ucapan Nabi SAW itu menyinggung kasus-kasus dimana
ketidakpastian muncul dalam bentuk ekstrimya, seperti dalam perjudian. Menurut
keterangan ini, asuransi jauh dari ketidakpastian, khususnya ketika disertai
kompensasi(ganti rugi) yang pasti. Sebenarnya kompensasi nyata dalam asuransi
adalah keamanan yang dirasakan oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk
setiap cicilannya.
3. Asuransi jiwa bukan alat untuk menolak kekuasaan Tuhan
atau menggantikan kehendak-Nya karena asuransi ini tidak menjamin peristiwa
yang tidak terjadi tetapi sebaliknya mengganti kerugian kepada peserta asuransi
terhadap akibat-akibat dari suatu peristiwa atau resiko yang sudah ditentukan. Gerakan
kooperatiflah yang mengurangi kerugian akibat suatu peristiwa tertentu dan itu
didukung oleh ayat Al-Quran: dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Sudah pasti kematian adalah malapetaka dan oleh karena itu bisa diambil
langkah-langkah untuk memperkecil keseriusan akibatnya dengan cara saling
tolong-menolong dan membantu.
4. Keberatan
mengenai tidak tentunya asuransi jiwa dalam ari bahwa peserta asuransi tidak
mengetahui berapa banyak jumlah cicilan yang dibayarkannya sampai kematiaannya
adalah tidak beralasan. Karena jumlah cicilan yang tidak tentu tidak
mempengaruhi keabsahan kontrak, juga tidak merugikan pihak manapun, karena
jumlah dari tiap cicilan menjadi diketahui ketika dibayar dan begitu pula
jumlah total dari semua cicilan pada saat semuanya sudah dibayar.
5. Keberatan
mengenai riba, dalam asuransi jiwa, tak berguna, karena asuransi ini
membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah
dibayarnya. Tidak mungkin diajukan keberatan terhadap transaksi-transaksi lain
yang dilakukan perusahaan-perusahaan asuransi dan investasi berbunga mereka,
karena seseorang harus mengambil asuransi sebagaimana adanya sesuai dengan
bentuk resminya.[5]
Sementara
itu ada juga beberapa ulama terkemuka yang membolehkan asuransi dengan berbagai
alasan seperti berikut ini.
1. Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo).
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan yang mengelola asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya sebesar premi yang pernah dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi, sesuai yang tercantum dalam polis, dan ini halal menurut ukuran syara’.
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan yang mengelola asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka asuransi hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya sebesar premi yang pernah dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi, sesuai yang tercantum dalam polis, dan ini halal menurut ukuran syara’.
2. Wakil
Rektor Universitas Al-Azhar Mesir.
Dalam kitabnya Nidlomut Ta’min fi Hadighi Akkamil Islam wa Dlarurotil Mujtamil Mu’ashir, ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa sebab.
Dalam kitabnya Nidlomut Ta’min fi Hadighi Akkamil Islam wa Dlarurotil Mujtamil Mu’ashir, ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa sebab.
1. Asuransi merupakan
suatu usaha yang bersifat tolong-menolong.
2. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda.
3. Asuransi tidak mengandung unsur riba.
4. Asuransi tidak mengandung tipu daya.
5. Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah swt.
6. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah.
7. Asuransi memperluas lapangan kerja baru.[6]
2. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda.
3. Asuransi tidak mengandung unsur riba.
4. Asuransi tidak mengandung tipu daya.
5. Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah swt.
6. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah.
7. Asuransi memperluas lapangan kerja baru.[6]
C.
Pendapat
Tentang Asuransi Adalah Syubhat
Ketiga,
pendapat bahwa asuransi bersifat
suybhat. Para ulama yang berpendapat seperti ini karea tidak ada dalil-dalil syar’I
yang secara jelas menghalalkan atau mengharamkannya. Jika hokum asuransi
dimasukkan dalam syubhat, kita harus berhati-hati menghadapinya. Kita baru
diperbolehkan menggunkan asuransi dalamkeadaan darurat dan sangat dibutuhkan.
Untuk saat ini, setelah muncul asuransi syariah, tidak ada lagi istilah
syubhat.[7]
D.
Pendapat
Ormas Islam Tentang Asuransi
Dikalangan
organisasi kemasyarakatan islam di Indonesia, Nahdhatul Ulama memutuskan bahwa
asuransi jiwa hukumnya haram kecuali memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Asuransi
tersebut harus mengandung tabungan (saving).
2. Peserta
yang ikut program asuransi harus berniat menabung.
3. Pihak
perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta dengan cara-cara yang
dibenarkan oleh syariat Islam ( bebas dari gharar, maisir dan riba)
4. Apabila
peserta mengundurkan diri sebelum jatuh tempo dana yang telah dibayarkan kepada
pihak asuransi tidak hangus.
Jika
suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi maka:
1. Uang
premi tersebut menjadi utang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung.
2. Hubungan
antara pihak tertanggung dan pihak penanggung tidak terputus
3. Uang
tabungan milik tertanggung tidak hangus.
4. Apabila
sebelum jatuh tempo tertanggung meninggal dunia, ahli warisnya berhak mengambil
sejumlah uang simpananya.
Untuk
asuransi kerugian hal itu diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Apabila
asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi objek-objek yang menjadi
agunan bank.
2. Apabila
asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena terkait dengan
ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang ekspor dan
impor.
Lain
halnya dengan asuransi social NU memperbolehkannya dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. Asuransi
social tidak termasuk akad muawadhah, tetapi akad syirkah ta’awwunyah.
2. Diselenggarakan
oleh pemerintah sehingga kalau ada kerugian ditanggung oleh pemerintah dan jika
ada keuntungan, dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
Tidak
jauh berbeda dengan NU pada Muktamar Tarjir Muhammadiyah di Malang tahun 1989,
Muhammadiyah memutuskan mengharamkan asuransi karena mengandung unsure gharar,
maisir dan riba, kecuali yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen, Astek, Jasa Raharja, dan Perum Asabri. Karena banyak
mengandung maslahat maka asuransi-asuransi ni diperbolehkan. Ormas lain yang
mengeluarkan fatwa tentang asuransi adalah Persis atau Persatuan Islam yang
didirikan oleh A. Hasan, Bandung yaitu sebagai berikut:
1. Semua
asuransi konvensional yang ada saat ini mengandung unsure gharar, maisir dan
riba.
2. Sedangkan
gharar, maisir dan riba hukumnya haram.
3. Adapun
takaful dapat dijadikan alternative dengan catatn bahwa takaful masih harus
berusaha menyempurnakan apa yang telah ada.
Pendapat
ketiga organisasi masa islam tersebut mengarah pada praktik asuransi syariah (takaful)
karena hanya system asuransi syariah yang memiliki system operasional seperi
yang disyaratkan oleh keputusan organisasi kemasyarakatan islam diatas.[8]
BAB
III
KESIMPULAN
Pada
dasarnya pendapat para ulama tentang masalah asuransi terbagi menjadi tiga
pendapat. Pendapat yang pertama yaitu yang melarang atau mengharamkan asuransi,
pendapat yang kedua yaitu membolehkan asuransi serta yang terakhir yaitu
memandang bahwa asuransi adalah syubhat.
Alasan asuransi dilarang dalam islam karena
sebagian besar mengandung unsur gharar (ketidakpastian), riba dan maisir
(judi). Sementara pendapat yang membolehkan asuransi memandang bahwa asuransi
merupakan usaha untuk menghadapi resiko dikemudian hari atas kejadian-kejadian
yang tidak terduga. Dan hal ini sangat dianjurkan dalam agama islam. Lain
halnya dengan yang berpendapat bahwa asuransi adalah perkara syubhat. Karena
masalah asuransi ini tidak terdapat dalam ayat Al-Qur’an maupun Hadist maka
dianggap syubhat atau samar-samar kehalalan dan keharamannya.
Akhirnya
asuransi itu sebenarnya diperbolehkan dalam islam namun dengan catatan bahwa
asuransi tersebut harus mengacu pada nilai-nilai serta ketentuan-ketentuan
dalam islam. Maka asuransi syariah merupakan solusi ditengah kebimbangan akan
kehalalan dan keharaman asuransi konvensional.
DAFTAR
PUSTAKA
Ansori,
Abdul Ghofur. 2007. Asuransi Syariah di
Indonesia. UII: Yogyakarta.
Anwar,
Khoiril. 2007. Asuransi Syariah Halal dan
Maslahat. Tiga Serangkai: Solo
Muslehuddin,
Muhammad. 1999. Menggugat Asuransi
Modern. Lentera: Jakarta
http://shariahlife.wordpress.com
[1]
Abdul Ghofur Ansori. Asuransi Syariah di Indonesia. Hlm 9.
[2]
Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat. Hlm 5
[3]
Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahat. Hlm 25
[4] http://shariahlife.wordpress.com
[5]
Dr. Muhammad Muslehudin. Menggugat Asuransi Modern. Hlm 146-149
[6] http://databaseartikel.com
[7]
Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahah. Hlm 26
[8]
Khoiril Anwar. Asuransi Syariah Halal dan Maslahah. Hlm 27-28
Hem...rasanya enak dijelasin sambil ngobrol kyk kmrn. hehehe...
BalasHapusTapi heran juga, mengapa orang lebih suka bertaruh? Masih kurang adilkah untuk mereka tabungan/simpanan yang jelas itu darinya?
terimakasih dah share bang. sangat bermanfaat untuk menambah referensi. salam
BalasHapus