A. Tentang Pajak
Pajak merupakan beban yang ditetapkan oleh pemerintah yang dikumpulkan sebagai keharusan atau kewajiban untuk memenuhi anggaran umum negara. Selain itu, pajak juga digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan perekonomian, kemasyarakatan, politik, serta tujuan-tujuan lainnya yang dicanangkan oleh negara.
Pajak ditetapkan oleh pemerintah, yang kadarnya dapat ditambah kapan saja, manakala pemerintah menginginkannya sesuai kepentingan maslahat pribadi dan masyarakat.[1]
Di Indonesia, hukum pajak bersumber dan berdasarkan pada pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
Dalam negara Islam, pajak disebut dengan istilah jizyah yang berarti pajak tanah (upeti), yang mana diatur dalam Q.S. At-Taubah ayat 29[2], sebagai berikut :
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” [At-Taubah : 29][3]
B. Unsur-Unsur Pajak
Istilah pajak menurut pakar ekonomi kontemporer telah mendefinsikan bahwa pajak ialah sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang dan bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu. Pajak diadakan untuk dialokasikan supaya mencukupi pangan secara umutn dan untuk memenuhi keuangan bagi pemerintah.
Adapun unsur-unsur pajak adalah sebagai berikut :
1. Pajak adalah pembayaran tunai, artinya bahwa seorang mukallaf membayarnya dengan uang tunai tidak berupa barang.
2. Pajak adalah kewajiban yang mengikat, artinya bahwa pajak ialah kewajiban yang dipungut dari setiap individual sebagai suatu keharusan.
3. Pajak merupakan kewajiban pemerintah, sehingga pejabat pemerintah atau lembaga yang berwenang mewajibkan pajak yang kemudian hasilnya dipergunakan untuk kepentingan umum.
4. Pajak adalah kewajiban yang bersifat final, artinya orang mukallaf tidak berhak untuk menolak atau menuntut sekalipun tidak tercipta suatu kemanfaatan.
5. Pajak tidak ada imbalannya, artinya tidak ada syarat bagi wajib pajak untuk memperoleh imbalan atau fasilitas kesejahteraan, sehingga tidak ada hubungan antara membayar pajak dengan fasilitas yang diperoleh oleh wajib pajak.
6. Pajak adalah kewajiban tuntutan politik untuk keuangan negara.[4]
C. Tentang Zakat
Zakat merupakan hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu, dikeluarkan pada masa tertentu, untuk mendapatkan keridlaan Allah, membersihkan diri, harta serta masyarakat. Kadar serta ukuran zakat dan tempat penyalurannya telah ditetapkan secara langsung oleh syari’at serta ditunaikan dengan maksud ibadah (taqarrub) kepada Allah. Zakat merupakan kewajiban yang sudah ditetapkan dan bersifat kekal selama di bumi ini ada agama Islam dan ada kaum muslimin.[5]
Ketentuan atas zakat diatur dalam Al-Qur’an, salah satunya yaitu pada ayat berikut :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang yang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” [At-Taubah : 60][6]
Sesuai ketentuan Islam, mereka yang berhak mendapatkan zakat hanya tujuh yaitu :
1. Fakir, 2. Miskin, 3. Amil, 4. Muallaf, | 5. Hamba Sahaya, 6. Gharim, 7. Sabilillah, |
D. Unsur-Unsur Zakat
Menurut pakar ekonomi Islam zakat ialah sebagai harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang kepada masyarakat umum dan individu yang bersifat mengikat, final, dan tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta. Zakat di alokasikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al Quran, sehingga zakat dilakukan untuk memenuhi tuntutan bagi keuangan Islam.
Adapun unsur-unsur dari zakat adalah sebagai berikut :
1. Zakat adalah kewajiban yang bersifat material seorang mukallaf muslim membayarkannya baik secara tunai berupa uang maupun barang.
2. Zakat merupakan kewajiban yang bersifat mengikat, artinya membayar zakat bagi seorang muslim mukalalaf adalah suatu keharusan.
3. Zakat adalah kewajiban pemerintah, pejabat pemerintah Islam, para imam mewajibkan zakat berdasarkan anggapan bahwa mereka melaksanakan kewajiban ilahiyah sebagai kewajiban.
4. Zakat merupakan kewajiban final, artinya orang Islam tidak boleh menolak dan tidak ada hak orang islam untuk menentang dan menuntutnya.
5. Zakat adalah kewajiban yang tidak ada imbalannya, tidak ada syarat untuk memperoleh kemanfaatan atau fasilitas yang seimbang bagi pembayar zakat, dan tidak ada hubungan antara kewajiban zakat dengan imbalan yang seimbang setelah membayar zakat.
6. Zakat merupakan kewajiban tuntutan politik untuk keuangan Islam. Alokasi zakat adalah untuk golongan delapan penerima zakat, sebagaimana yang telah ditentukan dalam surat At-Taubah : 60.[8]
E. Persamaan Antara Pajak dan Zakat
Pada dasarnya, pajak memiliki kesamaan dengan zakat dalam unsur-unsur tertentu. Persamaan antara pajak dan zakat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
3. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
4. Di antara ketentuan pajak tidak adanya imbalan tertentu bagi para wajib pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Demikian juga dengan zakat, ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan, kelemahan, dan penderitaan hidup.[9]
5. Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.[10]
F. Perbedaan antara Pajak dan Zakat
Di bawah ini merupakan perbedaan antara pajak dan zakat antara lain :
PERBEDAAN | ZAKAT | PAJAK |
Arti Nama | bersih, bertambah dan berkembang ( التَّطْهِيرُ وَالنَّمَاءُ ) | Utang, pajak, upeti |
Dasar Hukum | Al-Qur`an dan As Sunnah | Undang-undang suatu negara |
Nishab dan Tarif | Ditentukan Allah dan bersifat mutlak | Ditentukan oleh negara dan bersifat berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara |
Sifat | Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus | Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan |
Subyek | Umat Muslim | Semua warga negara |
Obyek Alokasi Penerima | Tetap 8 Golongan | Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin |
Harta yang Dikenakan | Harta produktif | Semua Harta |
Imbalan | Pahala dari Allah dan janji keberkahan harta | Tersedianya barang dan jasa publik |
Sanksi | Dari Allah dan pemerintah Islam | Dari Negara |
Motivasi Pembayaran | Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya | Ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat |
Perhitungan | Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantuan ‘amil zakat | Selalu menggunakan jasa akuntan pajak[11] |
G. Hubungan antara Pajak dan Zakat
Pajak dan zakat memang memiliki parbedaan yang cukup senjang. Maka dalam Islam, tidaklah mungkin menggantikan zakat dengan pajak, begitu juga menggantikan pajak dengan zakat.
Agar terjadi keharmonisan dalam pemungutan pajak dan penarikan zakat, maka hal yang mungkin adalah memadukan antara pajak dan zakat. Hal tersebut dilakukan dengan cara memotong jumlah pajak dengnan jumlah zakat yang telah dibayar oleh seseorang. Untuk mereka yang wajib menunaikan zakat dan sekaligus wajib pajak, cara ini mungkin akan dapat diterima karena menurut mereka kewajiban agama telah mereka penuhi bersama dengan kewajiban terhadap negara (Amir Syarifuddin, 1986:27)[12]
Penerapan sistem zakat dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak diatur dalam UU sebagai berikut :
1. UU No 38 tahun 1999 : zakat yang telah dibayarkan kepada BAZ atau LAZ akan dikurangkan terhadap laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan.
2. UU No 17 tahun 2000 : zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan secara resmi oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk Islam atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki kaum muslimin, dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak.[13]
3. UU Nomor 36 Tahun 2008 : zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.[14]
H. Pajak dan Zakat dengan Pendapatan Negara
Dalam penerapan sistem zakat yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak, memunculkan sebuah permasalahan tentang pendapatan negara dalam hal pajak.
Dibalik perumusan undang-undang diatas, pemerintah menyimpan keraguan dan kerisauan. Karena mereka berpendapat bahwa semakin banyak umat Islam yang membayar zakat, maka penghasilan kena pajak akan semakin berkurang. Hal tersebut mengakibatkan pajak yang dibayarkan juga semakin kecil dan pendapatan negara pun turut menyusut.
Padahal jika dikaji lebih lanjut, dapat dibuktikan bahwa efek zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak adalah positif terhadap pendapatan nasional keseimbangan. Meskipun zakat penghasilan dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak. Tapi kondisi perekonomian secara makro tetap membaik. Bahkan pendapatan nasional keseimbangan dengan variabel zakat lebih tinggi hasilnya dibandingkan pendapatan nasional keseimbangan tanpa variabel zakat.[15]
Keseimbangan pendapatan nasional tersebut dapat dilihat dari segi kesejahteraan rakyatnya yang sedikit-sedikit dapat lebih merata atas adanya zakat yang tersalurkan secara baik dan benar. Namun, kegagalan juga dapat terjadi atas pembudayaan zakat dengan kendala sebagai berikut :
1. Kurangnya sosialisasi/informasi tentang peraturan perundang-undangan zakat pada umat Islam, para wajib zakat (muzaki), pengurus/pengelola/amil, para mustahik dan aparat/instansi dinas terkait.
2. Kurangnya pemahaman/kepedulian para pejabat Departemen Agama, tokoh agama (ulama), tokoh masyarakat dan para pakar/cendekiawan muslim tentang perlunya gerakan massal dalam usaha pembudayaan zakat sejak diberlakukannya secara efektif UU No.38 Tahun 1999.
3. Tidak adanya peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
4. Kurangnya koordinasi antara Depag dan Depkeu sehingga penghitungan zakat mal berdasarkan hukum agama (Islam) dan penerapannya dalam kaitannya dengan pengurangan pajak sulit dilaksanakan[16]
Oo.. begitu to. terima kasih atas pencerahannya.
BalasHapusbagaimana menurut anda? :D
BalasHapusIya. Memang zakat boleh dikurangkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak.
BalasHapusMungkin pengelolaan zakatnya kurang ya, jadi kurang maksimal.
ia mungkin perlu ditingkatkan lagi tuh pengelolaan zakatnya. pajak nya juga biar cepet makmur negara ini. heheheh.... katane pak dosenku selama ini permasalahan pajak yang sulit diawasi adalah dari segi pemungutannya bukan penggunaannya bener gax ya?
BalasHapusSulit diawasi pemungutannya maksudnya gimana ko?
BalasHapuskatanya dari segi pemungutan itu lebih sering terjadi tawar menawar antara wajib pajak dan pegawai pajak...
BalasHapusHm betul juga, terutama saat pemeriksaan atau saat mengajukan keberatan & banding.
BalasHapus