Pages

Rabu, 15 Februari 2012

Persimpangan Hati III


Lembaran Hati III

“Jadi seperti itu ya cara mengerjakan soal ini?”. Eka dan Rara manggut-manggut.
“ya begitulah, mudah sekali kan? yang penting kalian harus hapal rumusnya dulu, setelah itu banyakin deh latihan soalnya, dengan banyak berlatih kita jadi terbiasa dengan rumus-rumus ini, lagian setiap variasi soal juga menuntut kreativitas kita buat mengkombinasikan rumusnya”
“OOOOOOOOO……………………………” sekali lagi rara dan eka ber-o… panjang
mendengarkan khotbah koko tentang matapelajaran matematika bab trigonometri. Mereka berdua baru saja mendapatkan pencerahan.
“jangan cuma ber-o… saja dong ayo coba kita kerjain lagi soal selanjutnya, emm… sepertinya soal selanjutnya tentang integral nih, gimana kalian mau coba?” koko menawarkan.
“aku coba ya? semoga bisa!” eka mulai mengutak-atik soal itu.
“aku juga ah!” rara tidak mau ketinggalan. Ia juga mulai mencorat-coret buku latihan soalnya.
Koko pun melakukan hal yang sama ia tampak khusuk memecahkan soal itu. Mereka bertiga sedang berlomba. Siapa yang paling cepat mengerjakan maka hadiahnya adalah pertanyaan dari teman lainnya untuk menjelaskan. Ya sebuah  pertanyaan karena dengan bertanya maka mereka menjadi bisa membagi ilmu. Yang ditanya pun akan dengan semangat menjelaskan. Ada kebanggaan yang menyeruak ketika berhasil memacahkan soal dan bisa berbagi dengan sesama.
“aku dapat!” eka bersorak. Ia tampak tersenyum girang.
“Jawabannya apa” rara yang sejak tadi mencorat-corat agak kaget juga mendengar sorakan eka.
“ya apa jawabannya eka?” koko menimpali.
“Jawabannya B kan” jawab eka.
“caranya gimana” rara dan koko serentak bertanya.
Maka  Eka dengan semangat yang menggebu-gebu mulai meguraikan alur penyelesaian soal itu. Rara sesekali bertanya tentang satu dua hal yang belum ia pahami. Sementara koko hanya manggut-manggut. Ada rahasia yang koko pendam.  Sebenarnya koko sudah mengetahui jawabanya tapi ia urung untuk mengutarakan pada mereka berdua. Ia ingin memberikan kesempatan pada yang lain untuk mencoba. Ia sengaja berpura-pura.
“Udahan dulu yuk? Otakku udah panas banget nih, nggak biasanya aku belajar selama ini. Dua jam belajar bareng kalian emang nggak kerasa tapi sepertinya ini udah mulai terasa mentok otakku.” rara nyerocos minta udahan.
“oke deh hari pertama ini cukup sampai disini dulu aku juga sudah lelah.” eka menyetujui.
“ya udah.” Koko mengikuti.
Mereka pun mengakhiri belajar bersama ketika matahari mulai menua. Senja telah turun menyapa. Mereka bertiga pun naik angkot. Pulang.  Kali ini mereka tidak perlu menunggu terlalu lama karena saat ini bukan jam padat. Bukan jam pulang sekolah. Anak-anak sekolah telah pulang sejak tiga jam yang lalu. Jadi mereka bisa duduk dengan nyaman dan melakukan kebiasaan. Mengobrol.
“makasih ya teman-teman karena kalian hari ini aku belajar banyak dan mengerti banyak hal juga.” Rara memulai.
“iya sama-sama, kita harus banyak bilang terimakasih nih sama koko karena dia banyak ngajarin kita” eka menyambung.
“ah nggak juga, aku juga belajar banyak kok dari kalian” koko merendah.
“koko selalu deh merendah, padahal tadi jago banget” eka protes.
“iya tuh, eh eka gimana kabar si kiki  pacar kamu itu? Bukannya dia kelas tiga juga kayak kita ya? ambil program IPA kan? Gimana kalo kamu ajakin sekalian biar rame dan tambah seru. Juga biar koko ada temen cowoknya, kasihan tuh dia harus menghadapi betina-betina bodoh seperti kita, hehehe?” rara nyerocos lagi.
Koko dan eka yang mendengar ide rara tersentak. Eka merasa belum siap untuk menghadirkan kiki ditengah-tengah mereka.  Hubungannya dengan kiki baru kemarin sore. Ia baru saja jadian maka ia masih malu-malu. Sementara  koko merasa ada rongga yang tiba-tiba saja menganga lebar dihatinya. Ia terdiam.  Luka yang belum sepenuhnya sembuh itu tergores lagi. Sakit. Perih.
“ah apa sih rara? Si kiki itu paling males kalo disuruh belajar”
“justru itu kamu sebagai pacarnya harusnya menyemangatinya dong, biar dia semangat, kan udah kelas tiga dan sebentar lagi mau ujian, apa iya kamu rela kalo kiki sampai tidak lulus ujian?” rara berpanjang lebar.
”iya juga sih tapi………” eka ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
“tapi apa? Udah mending besuk kamu ajakin dia buat belajar bareng, aku rasa koko juga nggak keberatan, ya nggak koko?” rara bersemangat menjelaskan pada eka.
“koko gimana nggak apa-apa kan kalo aku ajak kiki?” eka bertanya pada koko.
Koko yang sejak mendengar nama kiki disebut-sebut ditengah pembicaraan mereka hanya bisa membisu. Hatinya beku. Matanya menerawang jauh. Kosong. Ia dari tadi menyadarkan kepalanya di badan angkot. Ia mengalihkan semua pendengarannya untuk hanya mendengar angin yang melaju bersama dibawa angkot.
“koko………..?” eka yang merasa ada sesuatu yang aneh dengan koko kembali mengajukan pertanyaan.
“ya…… bagimana?” koko tergagap. Ia seperti orang yang tidur nyenyak lalu dibangunkan dengan tiba-tiba. Celingukan.
“kita ngajak kiki ya?”
“Oh……… boleh”  koko dengan kesadaran yang belum penuh menjawab. Ia tampak tersenyum meski ketara sekali jika senyumnya itu terpaksa.
“nah… sudah jelaskan, sekarang kamu besuk ajakin kiki ya?” rara kembali menimpali.
***
Kaku. Suasananya sangat kaku. Sejak tadi eka dan koko hanya diam. Eka sibuk menatap pacarnya kiki. Sementara koko hanya mengutak-atik soal. Koko sepenuhnya mengalihkan perhatiannya pada soal-soal yang ada dihadapannya. Ia mencoret-coret bukunya. Menulis nuliskan sesuatu. Rumus-rumus. Angka-angka.  Memang sejak kedatangan kiki ditengah-tengah mereka koko menjadi kehilangan konsentrasi. Otaknya seolah kosong. Pikirannya dikuasai sepenuhnya oleh hatinya yang tidak terkontrol. Ia merasa ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya.  Koko  memang tampak sangat terpaku seolah sedang luar biasa serius didepan soal-soal itu. Tapi sesungguhnya ia sedang berkonsentrasi pada hatinya. Ia terus berbicara pada hatinya agar tenang. Agar ia tetap ikhlas. Koko berdebat dalam diam. Berdebat dengan hatinya.
“kalian ini kenapa sih?” kok pada diam aja? Ayo dong belajar. Kita belum mengerjakan satu soal pun!” rara mulai merasa curiga.
“hehe iya nih kita belum ngerjain satu soal pun?” rara mulai tersadar.
“ini aku sedang berusaha memecahkan soal?” koko berbohong.
“aku menggangu belajar kalian ya?” kiki menimpali.
“nggak kok?” eka buru-buru menjawab.
“hhh… tau begini mending nggak usah ngajak kiki. Eka malah jadi nggak kosentrasi!” rara berbisik sendiri.
“rara kamu ngomong apa?” eka merasa rara sedang membicarakan dirinya.
“nggak kok?” rara agak kaget.
Maka sore itu sesi belajar bareng mereka hanya diisi dengan kekosongan. Eka asik bercanda dengan kiki sementara koko hanya terdiam melawan hatinya yang bergejolak oleh rasa cemburu. Dan rara sibuk mengeluh sendiri karena mereka semua tidak berkonsentrasi seperti biasanya. Dia agak merasa menyesal telah mengusulkan kiki untuk diajak belajar bareng jika akhirnya malah jadi seperti ini.

“koko?” rara memberanikan diri memanggil.
Koko tampak mengacuhkannya. Ia melihat koko melamun. Kemudian dengan takut-takut ia menyentuh pundak lelaki itu.
“koko?” lirih ia memanggil lagi.
Koko akhirnya menoleh. Ia tersenyum pada rara.
“koko kamu kenapa? Tadi aku lihat kamu tidak konsentrasi? Kamu sakit?”
“nggak kok. Mungkin cuma agak lelah” koko berbohong lagi. Ia mencoba untuk tersenyum lagi pada rara.
“ya udah kamu istirahat dulu aja. Bentar lagi kamu mau nyampe rumah kan?”
“ya terima kasih”
Koko pun kosong lagi. Melamun. Hatinya kacau. Ia tak bisa melihat eka diboncengkan kiki untuk diantar pulang. Sepertinya ia cemburu.
“koko udah mau nyampe nih sana siap-siap dulu” rara membangunkannya dari lamunannya.
“oh ya”
Setelah koko turun dari angkot rara berbicara pada diri sendiri.  Dia nyerocos sesuai dengan kebiasaannya tapi kali ini dengan dirinya sendiri.

“kenapa ya? kenapa tadi koko jadi aneh. Apa iya benar-benar sakit? Tapi sepertinya tadi pagi ia masih ceria. Kenapa setelah kedatangan kiki ia jadi murung. Apa jangan-jangan selama ini koko memendam perasaan sama eka. Tapi sepertinya tidak mungkin. Selama ini mereka kan cuma berteman. Dan koko juga tidak memperlihatkan sikap menolak pada kiki. Hemm… koko sakit apa ya? semoga dia baik-baik saja deh. Semoga emang bener cuma kecapekan.”
Rara lalu tersenyum sendiri. Tadi hatinya bergetar hebat ketika sebuah senyum manis melengkung diwajah koko. Tapi lagi-lagi ia menolak untuk mengakui getaran itu. Rara melamun lagi. Ia masih agak kacau karena harus satu angkot dengan koko tanpa eka. Eka tadi memang diantar kiki naik motor pribadinya. Ia sebenarnya agak keberatan eka meninggalkan dirinya dengan koko berdua saja. Tapi ia mencoba untuk tenang. Lagian selama ini koko juga tidak menunjukakan tanda-tanda bahwa dia ada perasaan dengan dirinya. Jadi dia tidak mau bertindak konyol. Apalagi terlalu percaya diri.
***
“kalian kemarin kenapa sih? Kenapa nggak pada konsentrasi?” rara membuka pembicaraan.
“maklum lah aku kan baru jadian sama kiki jadi aku masih malu-malu sama dia, masih nggak karuan hatiku kalo dideket dia. Kayak kamu nggak tahu aja rara?” eka menjelaskan.
“maaf ya teman sepertinya kemarin aku agak kelelahan jadi nggak konsen deh belajarnya. Hehehe.” Koko mencari-cari alasan.
“ya udah sekarang akan si kiki udah kita berhentikan dari anggota kelompok belajar ini. Jadi sekarang sebaiknya kalian berkonsentrasi lagi. Dan mulai mengajari aku lagi. Hehehe. Soal ini bagaimana cara mengerjakannya?” rara tersenyum.
Seperti biasa mereka pun asik belajar lagi. Semuanya telah kembali focus. Koko sudah lebih baik. Ya meskipun ia masih agak terluka karena kejadian kemarin tapi ia sudah dapat mengontrol hatinya. Eka pun demikian ia dapat lebih berkonsentrasi tanpa kiki. Ia memang baru menjalin hubungan jadi segala sesuatu masih rentan. Masih canggung. Sementara rara tampak begitu bersemangat. Sejak tadi ia begitu aktif bertanya. Menjadikan suasana menjadi cair dan meriah. Rara kemarin memang sempat menghubungi eka agar ia tidak lagi mengajak kiki. Eka agak kaget dan sempat marah dengan rara. Tapi setelah melalui perdebatan tentang baik dan buruknya akhrinya eka mengalah. Ia menjelaskan bahwa kiki juga tidak merasa keberatan untuk tidak diundang dalam belajar bareang mereka.
Mereka keasikan belajar sampai lupa bahwa matahari telah pulang keperaduanya. Senja turun menyelimuti dunia mereka. Langit  berwarna biru pekat. Gumpalan-gumpalan awan berjejal-jejal diatas sana. Menghalangi satu dua bintang yang mulai mengintip dari kejauhan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar